Jakarta – Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyoroti Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang berpotensi mengandung banyak persoalan fundamental. Usman menegaskan yang seharusnya dilakukan dalam RUU ini adalah menghapus kewenangan TNI dalam melakukan penegakan hukum.
“Itu ada di Pasal 9 (UU TNI). Yang dimaksud dengan menegakkan hukum adalah termasuk memberi peringatan, membuat laporan, sampai dengan melakukan penangkapan. Itu masalah besar. Jadi sekarang TNI dan Polri sebenarnya dikembalikan ke format ala ABRI dulu,” kata Usman kepada Tempo usai acara pertemuan nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) bertema “Navigasi Masyarakat Sipil Menghadapi Krisis Demokrasi” di Jakarta Pusat, Kamis, 18 Juli 2024.
Usman juga menyoroti bahaya Pasal 47 RUU TNI yang akan memperluas peran prajurit aktif di jabatan sipil. Menurut Usman, kewenangan ini menciptakan dwifungsi baru bagi tentara di level birokrasi sipil.
“Istilah penempatan anggota TNI di dalam kantor-kantor tertentu di dalam pemerintahan, itu diganti dengan kementerian dan lembaga,” katanya.
Usman menjelaskan fungsi-fungsi yang dicampuradukkan antara pertahanan dan non-pertahanan ini membuat kewenangan tentara menjadi abu-abu. TNI kini dikhawatirkan bisa masuk ke ranah non-pertahanan, seperti diplomasi militer, penanganan terorisme, narkoba, hingga pangan.
“Kalimatnya dibuat positif, seolah-olah itu wajar-wajar saja. Tapi itu mengaburkan struktur hierarki di dalam demokrasi, yaitu TNI hanya alat dari otoritas sipil,” jelas Usman.
Usman juga menyoroti RUU Polri yang membuat Polri menjadi semacam lembaga super body yang mengurusi segala hal, termasuk ruang siber dan media massa.
“RUU TNI dan RUU Polri harus dihentikan pembahasannya, sampai ada semacam pembahasan yang meluas dan melibatkan partisipasi publik yang bermakna,” kata Usman.