JAKARTA, Inisiatifnews.com – Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Muhammad Cholil Nafis menyampaikan, bahwa islam tidak pernah memberikan model pasti mengenai sistem pemerintahan yang diterapkan dalam bernegara, baik itu sistem khilafah, imaroh maupun demokrasi.
Kiai Cholil sapaan akrabnya menegaskan, bahwa sistem pemerintahan yang dijalankan suatu negara tergantung pada kesepakatan yang telah ditentukan.
“Jadi, kalau kita memastikan khilafah, itu sama saja kita memastikan sesuatu yang sifatnya ijtihadi. Demikian juga kalau kita mengkultuskan Demokrasi sebagai satu satunya cara yang memberikan keadilan, itu juga sama dengan mengkultus,” kata Kiai Cholil seperti dikutip dari laman resmi MUI, Kamis (14/4).
Ia mengatakan, sistem khilafah sebenarnya sah-sah saja diterapkan dalam berbangsa dan bernegara. Namun tidak untuk negara Indonesia. Sebab menurutnya, sistem pemerintahan tersebut tidak tepat jika diterapkan di Tanah Air. Di sisi lain, negara Indonesia juga sudah memiliki kesepakatan tersendiri terkait hal tersebu.
Kesepakatan itu, kata Kiai Cholil, tertuang dalam Undang Undang Dasar (UUD) 1945 yang merupakan salah satu dasar negara Republik Indonesia.
Adapun pasal yang mengatur terkait hal tersebut yakni pasal 28 e ayat satu, dua dan tiga.
Ayat 1
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Ayat 2
Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Ayat 3
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
“Hal tersebut sangat menjelaskan bahwa kita diberikan kebebasan untuk beragama dan berkeyakinan. Hanya saja kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain,“ ujarnya.
Lebih lanjut, Rais Syuriah PBNU itu menyampaikan pesan mengenai pentingnya beragama dan bernegara. Ia bahkan mengibaratkan keduanya sebagai saudara kembar yang sulit untuk dipisahkan, yang mana agama diibaratkan sebagai dasarnya, sementara negara diibaratkan sebagai penjaganya.
“Kalau tidak ada dasar atau pondasinya, kita tidak akan bisa membangun. Jangankan ingin membangun dua sampai lima lantai, baru membangun satu lantai saja sudah roboh,” pungkasnya.