Jakarta – Konvoi Khilafatul Muslimin yang viral beberapa waktu lalu sangat menarik perhatian netizen. Konvoi pemotor dengan pamflet bertuliskan bangkitnya khilafah ini juga menarik Ken Setiawan, founder NII (Negara Islam Indonesia) Crisis Center untuk berkomentar.
“Agenda gerakan ini seperti puncak gunung es, kelompok ini sudah ada di 34 provinsi di Indonesia walaupun mungkin jumlahnya belum begitu banyak di daerah-daerah tertentu. Tapi di Lampung, basisnya Khilafatul Muslimin. Daerah Sumsel, Jambi, Riau, Sumbar, sampai ke Aceh cukup banyak. Termasuk daerah Jawa, Sulawesi, Kalimantan, NTB. Pimpinannya itu kan dari NTB, Daerah Jatim, Jateng itu cukup besar.”, tegas Ken, hari ini.
Menurut Ken, organisasi ini mungkin dianggap terindikasi melakukan tindakan radikalisme, mengatasnamakan agama dan anti pemerintah, anti simbol termasuk Pancasila, anti demokrasi. Tapi gerakannya tidak secara frontal melakukan penolakan. Mereka cenderung kalem, hanya konvoi, dan ini merupakan agenda rutin.
“Biasanya 1 muharram. Walaupun beberapa orang dari kelompok ini ditindak Densus 88 karena terkait jaringan terorisme, termasuk yang menusuk Wiranto di Banten. Pimpinan Khilafatul Muslimin adalah tokoh NII, mantan napi Bom Borobudur, Abdul Qodir Baraja. Jadi memang ini bukan hal baru, tapi puncak gunung es. “, imbuhnya.
Ken menyayangkan negara belum bisa menindak karena belum ada regulasi yang menindak pemikiran. Tidak seperti komunisme yang sudah jelas dilarang baik individunya, pahamnya dan organisasi yang terafiliasi. Dan juga sudah ada Tap MPR yang mengatur tentang pelarangan komunisme.
” Ditindaknya mungkin jika anggota tersebut terindikasi radikalisme terorisme, kalau belum ya kita hanya bisa monitor. Konvoi kemarin paling ditegur, didatengin, kalau secara hukum belum bisa. Belum ada payung hukum regulasi yang menindak paham. Yang ditindak paling organisasinya seperti HTI dan FPI. Sementara orangnya masih bisa eksis menyebarkan paham tersebut”
Ken menambahkan bahwa gerakan ini selalu meneriakkan Khilafah dan negara thogut, namun yang ditindqk biasanya jika mengarah ke ujaran kebencian dan provokasi.
“Kalau soal makar kepada negara, belum bisa ditindak. Apalagi terkait terorisme, ya mereka kan hanya konvoi. Karena belum ada yang bisa menindak, jadi ini akan terus berjalan dan membesar. Apalagi gerakan ini punya struktur jelas, seperti punya negara sendiri. Punya sekolah sendiri, kampus sendiri, pendidikan sendiri, pesantren sendiri. Walaupun sebenarnya organisasi Khilafatul Muslimin ini ilegal tapi pasang plang dimana-mana walau nggak membayar pajak. Pemda sini juga nggak berani menindak.”
Ken menjelaskan bahwa gerakan ini bukan cari panggung, tapi rutin sebagai syiar dan sangat masif. Respon masyarakat sekitar juga tidak ada perlawanan karena dianggap tidak mengganggu.
” Sebenarnya mereka sudah lama bergerak, tapi ini kan momennya hari lahir Pancasila. Jadi mereka bergerak. Apalagi sekarang medsos begitu aktif. Maka banyak netizen yang tahu ngerinya ngomongin khilafah. Ini bagusnya Medsos, informasi cepat dan masyarakat waspada, walau kadang diiringi hoax yang cepat.”, tutur Ken.
Ken Setiawan berharap aparat dan pemerintah membuat regulasi yang melarang kegiatan yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. Minimal perpu atau perpres atau daerah-daerah membuat perda. Seperti pelarangan Wahabi di Aceh.
” Jadi buat larangan kegiatan yang menggunakan istilah negara islam atau khilafah. NKRI sudah final. Selagi mereka tidak dilarang, hanya organisasinya saja, ini akan terus membesar. Mereka selalu memprovokasi ke masyarakat kalau negara ini thogut, salah, harus diganti negara islam atau khilafah.”, tegasnya.
Terkait Polri yang kabarnya akan memburu pelaku konvvoi, Ken mengaku tidak berharap banyak.
“Mungkin akan menemui ya. Kalau menangkap dasar hukumnya apa? Mereka cuma keliling, ngomong khilafah, dasar hukumnya untuk menindak ini tidak ada. Paling datang, ngobrol, silaturahmi, jangan gitu lagi besok ya, kan gitu.”, ujarnya.
Ken berharap negara segera menindak tegas. Karena gerakan dan orang yang terlibat di dalamnya ini bagai barang dalam kaca. Bisa dilihat, tak bisa disentuh.
” Jadi kalau negara tidak tegas, ini bahaya. Regulasinya belum jelas kan belum ada pasalnya. Kalau pasalnya terorisme juga nggak bisa menangkap mereka. Pasal makar juga belum bisa dikenakan. Mereka kan hanya ngomong khilafah, jadi beranggapan tidak ada yang melarang. Dan jika kita melarang, pasti dianggap anti islam. Tapi ini fakta. Bahayanya karena pembiaran, masyarakat juga lama-lama bisa tertarik melihat oknumnya baik, rajin ibadah dan sebagainya. Sekali lagi, sayangnya pemerintah belum bisa menindak.”, pungkasnya.